Keretaku akan sampai sebentar lagi karena sudah semalam suntuk aku menggeliat kesana kemari mengimbangi laju kereta yang tiada terperi, di jendela kanan dan kiri bergayut kabut serta mega mendung yang—bukan main!—tipisnya hampir menyamai helai surai permaisuri.
Petani menanami belantara sawahnya dengan padi di pagi hari, dengan pepujian dari hati, dengan denyut lengan yang hati-hati, dengan aku yang menyaksikan dari tepi tanpa peduli kelak padi itu menjadi nasi atau menjadi mati, sambil sembunyi di balik kereta yang konon akan sampai sebentar lagi.
Keretaku memasuki terowongan panjang yang membuat kuduk berdiri sedang setiap detik rasanya seperti bermain judi dengan angin, alangkah asyik kami berpacu menebak kala sinar merebak dan kala gelap bertolak pergi.
Kemudian tampak gerombolan bocah yang berlarian di pinggir jalan selagi memperebutkan bola dan berlomba menjebol gawang bikinan, namun keretaku melaju terlalu gesit sampai aku cuma bisa menaksir mana tim yang menang pada kompetisi satu-satunya yang hanya akan usai jika para ibu mulai bersahut-sahutan menyeru sholat Maghrib.
Stasiun tujuan telah terlihat, namun keretaku belum melambat bahkan justru melesat semakin cepat padahal sedari tadi aku membual setinggi langit. Kutanyai masinis yang menjawab sinis bahwa kami belum akan berhenti untuk beberapa dekade nanti, tapi aku yakin jika keretaku akan sampai sebentar lagi.
0 Comments