Rembang

Bu, kemarin aku terlibat dalam sebuah perjalanan. Rembang tujuannya. Tahukah ibu akan Rembang? Satu-satunya hal yang kuingat tentang Rembang hanyalah bahwa pria gagah yang berani mempersunting RA Kartini, salah satu junjunganku, adalah sang bupati Rembang. Tiada citera apapun yang terlintas dalam benakku saat mencoba membayangkan seperti apa wajah Rembang. Yang lalu lalang di dalam kepalaku hanyalah Kartini, Kartini, dan Kartini.

Ah, dan satu lagi. Kawis.

Seorang rekan memberitakan kepadaku tentang buah unik bernama Kawis. Aku bilang unik tentu karena aku tak pernah tau rasa, bentuk, bahkan nama buah ini. Wisata kuliner, here I go!
Habis nyoblos (sekitar pukul 8 karena aku ambil antrian paling pagi), aku langsung mengemasi barang-barang. Sarapan lontong sayur tanpa telur sebentar di tukang keliling di seberang jalan, dan akhirnya memesan kendaraan online untuk menjemput.

KRL agak lengang. Baru mulai ramai saat tiba di Depok dan Manggarai. Sepi lagi saat sudah sampai Duri, Angke, dan Kampung Bandan. Setelah hampir 3 jam berpura-pura tidur agar tempat dudukku tidak direbut, sampai juga aku di Stasiun Pasar Senen.

Stasiun ini bersejarah. Ia menjadi tempat pertama aku menjejakkan kaki saat hendak menuju IPB untuk daftar ulang. Orang-orang lalu lalang, kakinya bergegas begitu cepat seperti diburu waktu. Tangan kananku mulai sakit. Berat membawa koper kecil yang kupinjam dari teman kontrakan.

Aku tak tau apa yang memberatkan. Padahal baju pun tiada sampai kubawa barang satu lusin. Hanya beberapa potong saja, dan itupun untuk lima hari. Kubawa serta beberapa peralatan mandi dan laptop. Selesai. Namun persendian sikuku rasanya mau copot. Apa mungkin kesegananmu mengijinkanku pergilah yang membebaniku, Ibu? Atau malah ambisi-ambisi yang mengendap di dasar dadakulah yang jadi pemberat tak kasat mata ini?

Entah. Yang jelas, tidak ada orang-orang yang berbasa-basi menawariku bantuan, walau mungkin aku nampak terengah-engah dan bercucuran keringat. Siapapun yang membuat desain Stasiun Pasar Senen, aku mengutukmu saat ini. Ada berapa banyak lagi tangga yang membuatku harus terseok-seok begini?

Kereta api sudah datang, kembali ada kesialan. Sial. Sial. Sial. Peron yang ada ternyata hanya mampu mengantarkan penumpang sampai gerbong ekonomi kesepuluh. Sisanya masih dalam tahap pembangunan. Pembangunan disini maksudku adalah masih membangun pondasi. Masih dalam bentuk kotak-kotak semen dengan tiang besi hasil cor. Kalian tau aku gerbong berapa? TIGA BELAS. Coba baca ulang. T i g a b e l a s. Rekanku yg hanya membawa ransel dan tas laptop sudah ditelan lautan manusia, meninggalkan aku yang sayangnya juga terseret arusnya.

Mau tak mau aku juga ikut mengantri melewati bangunan pondasi yang belum rampung itu karena waktu sudah menunjukkan pukul 13.50an. Dan jadwal kereta ini berangkat adalah pukul 14.00. Oke, aku berjalan dengan susah payah (tak tahu aku harus menggambarkannya seperti apa) seperti meniti jembatan. Masalahnya, di kirimu ada rel dengan kereta yang hampir berangkat, di kananmu ada tiang-tiang besi penyangga yang ujungnya terbuka, dan di belakangmu ada antrian manusia yang kau tahu sama tak sabarannya sepertimu. Ah satu lagi, jangan lupa di tanganmu ada beban seberat 3x lipat ranselmu yang biasa.

Tapi toh akhirnya aku berhasil juga. Kereta berangkat, meninggalkan aku yang kelelahan terkantuk-kantuk. Kepalaku mengayun tak tentu ke depan, ke kanan, ke belakang, bahkan berputar 360 derajat seperti orang mabuk. Tersiksa rasanya harus duduk dengan sudut sandaran punggung berbentuk siku-siku tanpa membawa bantal leher. Tujuh jam. Hm.

Sampai di Semarang Tawang (pukul 21.00), aku kembali memesan kendaraan online untuk mengantar ke terminal Terboyo. Perutku mulai berontak. Menyesal rasanya aku menolak tawaran rekanku pagi tadi untuk membawa bekal makanan dari Bogor. Urat di lengan kananku seperti ditarik makin dan makin kuat karena terlalu lama membawa koper.

Di terminal, beberapa bis mulai nampak. Aku yang baru pertama kali kemari tentu mengandalkan rekanku (yang ternyata tak juga bisa membantu kami). Untunglah kami bertanya pada orang yang tepat, memberitahukan kami untuk naik sebuah bis dengan biaya Rp. 23.000. Deal. Kami naik dan menunggu.

Kami sampai Rembang pukul 24.00, dijemput orang tua rekanku. Beruntung ada warung nasi yang buka tepat di seberang jalan, dan aku ditawari makan. Sudah ada perasaan tak nyaman bahwa aku akan dibayari, namun orangtua rekanku bersikeras. Tipikal keramahan orang Jawa:). Aku makan nasi pecel dengan telur dadar, kukira nasi telur adalah jalan ninjaku?

Dengan dua motor, kami membelah malam itu. Langit jernih rupanya, tak sungkan memperlihatkan bintang-bintang yang sudah jarang aku pandangi. Aku menangis melewati barisan tebu yang aroma manisnya berebutan memasuki hidung. Teringat akan mimpiku, juga terjaga jika setiap orang yang kutemui di Bogor sejatinya membawa satu tujuan, satu visi, satu mimpi sebagai bekal dari rumah mereka masing-masing.

Rumah rekanku rupanya begitu terpencil, jauh jaraknya dari pusat kota. Jangan harap sinyal, penerangan saja rasanya masih jarang. Dan seperti yang biasa dihadapi wilayah pelosok begini, kriminalitas dan pembegalan di jalan katanya masih marak.

Aku dijamu, namun berat rasanya menerima. Rumah rekanku masih campuran antara plester dan tanah. Dindingnya ada yang semen, ada juga yang kayu. Tapi jangan salah, kayunya kayu jati. Aku memergoki temanku minum air dari kendi. Biar dingin, katanya. Oke, besok aku coba.

Yang menggangguku adalah fakta bahwa lingkungan begini mampu menghasilkan orang hebat, berkemauan keras seperti kawanku itu. Aku membayangkan betapa bangga kedua orangtuanya saat tau anak bungsunya diterima di Top Three perguruan tinggi negeri terbaik di Indonesia. Sarjana pertama dalam keluarga. Bagaimana kedengarannya?

Hm, sudah larut. Mataku sudah panas. Aku tidur dulu ya, sampai jumpa besok!



0 Comments