Pukul 10 pagi, aku selesai makan. Aku disuguhi teh manis hangat dan lauk pauk berupa tumis jeroan dan goreng tempe. Usai mandi, kami berangkat menuju tujuan pertama perjalanan kami, makam RA Kartini.
Di tempat itu rupanya ramai. Salah satu brand kosmetik terkemuka di Indonesia sedang menggelar acara peringatan Hari Kartini. Wah aku baru ingat. Hampir 21 April! Betapa tepat momen kami berkunjung kemari.
Masih ada rombongan peziarah di dalam makam Kartini dan suaminya, Djojo Adiningrat. Kami menunggu sejenak. Usai beberapa saat, tiba giliranku dan Yami.
Makam itu dilapisi pualam dan nisannya disarungi kain putih mewah. Makam Kartini di sebelah kanan dari arah pintu masuk dan suaminya di sebelah kiri. Ada pagar di sekeliling keduanya yang menjadi tempat menggantung banyak lukisan dan foto Kartini yang dibawa rombongan-rombongan peziarah yang pernah berkunjung. Di bagian depan makan, terdapat ukiran pualam berupa nama lengkap Kartini dan suaminya, dan beberapa baris aksara Jawa yang baik aku maupun kawanku tak tahu maknanya. Tanah di bagian bukaan makam dipenuhi potongan daun pandan, bunga-bungaan, dan dua tangkai dupa yang telah mati apinya.
Puas meneliti segala apa yang mataku bisa tangkap, aku meyentuh lapisan pualam makam Kartini. Dingin. Kami tak tahu harus apa. Akhirnya, aku dan Yami membacakan doa tahlil tepat di samping makam beliau. Lututku bahkan menyentuh makam dan dapat merasakan jalaran dingin pualam.
Berada sedekat ini dengan seorang pahlawan yang tak terkira jasanya membuatku gentar. Aku sebagai seorang wanita, membayangkan seperti apa sulitnya jadi ia di masa lalu. Betapa ia rela memilih jalan yang berat padahal sebagai ningrat, sungguh ia sesungguhnya dapat menikmati privilege yang dimilikinya. Sudah barang tentu besar semangat dan kuat tekadnya lah yang membuatku dan Yami mampu menempuh pendidikan setinggi ini. Bahwa setiap wanita yang hidup di masa kini, sebagai millennials muda, maupun yang hidup bertahun-tahun lalu, tentu memiliki hutang kepadanya. Bahwa terdapat sidik jarinya pada setiap keputusan, setiap pilihan yang kami kini miliki secara cuma-cuma. Dan memikirkan itu, aku kembali menangis. Cengeng memang, maaf. Ibuku, Bundaku, Raden Ajeng Kartini, tularkanlah segala apa kebaikan yang engkau miliki kepadaku. Tentang kemauan memajukan bangsamu sendiri, tentang keberanian menyuarakan gagasanmu, dan tentang jalan pengabdian yang engkau pilih.
Setelahnya, aku mengambil beberapa foto dan kami menuju destinasi selanjutnya. Mie Ayam Bakar. Aku duduk semeja dengan Yami dan 6 temannya. Aku merasa rikuh dan canggung. Apalagi ada 2 laki-laki di situ. Ah.
Ternyata mie ayam ini biasa saja, masih ada kuahnya, masih ada ayamnya, dan rasanya tak jauh beda dari mie ayam pada umumnya. Kurasa yang membedakan hanyalah bahwa harganya sangat murah. Itu juga sebenarnya yang membuat kami mempertimbangkan tempat ini pertama kali. Pucuk dicinta ulam pun tiba, ternyata salah seorang teman Yami mentraktir kami berenam. Wow.
Kami berlima (aku dan 4 teman wanita Yami) masih membeli capuccino cincau. Dua teman laki-laki Yami sudah pulang. Antrian minuman ini sangat lama rupanya. Aku sampai terkantuk-kantuk tanpa berusaha memahami apa yang keempat wanita ini bicarakan. Ternyata aku juga ditraktir minuman ini. Wow, dua kali ditraktir dalam satu hari. Betapa hokinya aku hari ini! (Maafkan aku yang tidak tahu diri).
Melanjutkan perjalanan, kami berlima dengan tiga motor menuju museum RA Kartini. Lama-lama aku merasa sepertinya perjalananku ke Rembang menjelma menjadi perjalanan spiritual. Lol. Awal tiba, aku langsung disambut oleh bangunan sekolah legendaris yang didirikan Kartini dan suaminya. Museum ini sebenarnya dulunya adalah kantor suami Kartini. (Suaminya adalah bupati Rembang, ingat?)
Satu tiket masuk dihargai Rp. 2000. Dan kami memutuskan untuk masuk ke dalam setelah beberapa keberatan yang diajukan teman Yami karena alasan mistis.
Di ruang pertama, ada 2 relief raksasa berisi foto keluarga Kartini dari ukiran kayu. Dan detailnya, OH MAN YOU NEED TO SEE THEM. Keduanya benar-benar fantastis. Cincin dan perhiasan Kartini lainnya terlihat sangat jelas. Kayu sekeras dan setebal sekitar 10 cm ini, dalam tangan-tangan handal para pengukir Jepara, menjadi suatu masterpiece, karya seni yang karena saking tingginya valuasinya pun dapat menjadi barang mewah di negeri Belanda sana.
Kemudian ada tulisan tangan Kartini saat menulis surat dalam bahasa Belanda, terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Jawa sebagai hadiah untuk Kartini, dan buku paling legendaris miliknya, Habis Gelap Terbitlah Terang. I'm feeling overwhelmed again. Di saat wanita lain masih hidup di bawah kaki para pria, wanita spesial satu ini sudah dapat berkorespondensi dengan orang-orang dari Belanda. Bersurat-suratan menyuarakan kegelisahan hatinya yang teramat mulia memikirkan nasib kaumnya. Ah, this feeling again.
Ada banyak barang-barang lain miliknya. Ada meja rias dengan sebongkah cermin yang aku sempat berswafoto di depannya, lukisan, kotak perhiasan, bak mandi, dan banyak lagi. Ada banyak potret diri Kartini yang tidak kujumpai di buku-buku sejarah. Dan aku bersyukur pernah menjejakkan kaki pada tempat bersejarah ini.
Di bangunan depan, berdiri dengan kokoh sekolah rakyat yang didirikan Kartini dan suaminya. Aku merinding. Di zaman saat menerima pendidikan masih susah, keluarga ini berani mengambil lompatan besar dengan membangun fasilitas penyedia pendidikan. Seseorang seawam diriku benar-benar terbuai dengan segala pengorbanan yang diberikan sukarela oleh keluarga mulia ini. Aku berusaha mentransformasi diriku menjadi spons agar dapat menyerap sebanyak mungkin informasi, gagasan, dan semangat yang kudapat dari perjalanan spiritual ini.
Akhirnya, tak terbantahkan bahwa perjalanan pada Hari Kartini, di depan jasad RA Kartini ini membangkitkan seberkas niat di hatiku untuk menjadi neo-Kartini.
0 Comments