!Early Warning!
If you love to always be surrounded by positivity, the following content might not be suitable for you.
***
[18/08, 12:45 pm] anano: Aku bingung tentang 'memulai lagi', Jup.
[18/08, 12:47 pm] anano: Begitu banyak ketakutan yang merimbun di dalam kepalaku setiap kali aku harus berhadapan dengan lingkungan yang benar-benar baru.
[18/08, 12:50 pm] anano: Pikiranku ciut Jup. Aku jadi begitu pengecut. Aku cuma bisa merapal ucapan-ucapan omong kosong seperti "Everything will be alright. You can do it." Sementara jauh pada lobus otakku aku gemetaran membayangkan bagaimana jika aku kesepian, jika tidak ada orang yang mau berteman dengan orang aneh sepertiku, jika aku tidak mampu mempertahankan apa yang sudah aku raih selama ini dalam langkah-langkah akhir.
[18/08, 12:56 pm] anano: Mungkin nun jauh di barat sana, orang-orang menamai gejala yang aku alami ini dengan 'anxiety'. Iya Jup. Aku selalu anxious. Aku merasa perlahan-lahan cangkang ceriaku yang kau kenal betul itu mulai retak dan pudar. Aku selalu dikungkung ketakutan. Bahkan untuk sekedar bertanya di kelas pun aku harus susah payah meyakinkan diriku selama berpuluh menit sebelumnya bahwa pertanyaanku tidak akan membuatku dicap bodoh, idiot oleh teman kelasku, bayang-bayang mereka berbisik di belakangku "Ih masa ini orang gitu aja nggak tau?" benar benar menyiksaku, Jup. Kamu bisa membayangkan seberapa menyedihkan itu kan?
[18/08, 1:01 pm] anano: Dan aku bahkan bingung masalah teman. Sepertinya memang aku dipandang terlalu aneh untuk sekedar berada di lingkaran pertemanan orang-orang. Aku bingung kepada siapa aku harus mengalirkan suara-suara yang sudah lama bertumpuk, mengendap, dan membuat isi kepalaku ini penuh sesak oleh jelaga, Jup. Aku tidak mungkin membuka kran ini kepada seorangpun yang aku kenal disini, jelaga-jelaga ini terlalu kelam, terlalu getir Jup. Aku takut mereka lari meninggalkanku semakin kencang atau membangun tembok yang lebih tinggi lagi.
[18/08, 1:12 pm] anano: Ah, jangan lupakan masalah cinta. Bukan, bukan. Ini bukan lagi soal masa lalu. Jika harus kuakui Jup, jika aku berani menginjak sejenak harga diri, gengsi, serta keangkuhan dan kenaifanku yang terlampau tinggi, aku akan meneriakkan hal ini—dari pangkal tenggorokan dan paru-paruku—sejak dulu. "Aku iri."
Aku iri pada orang-orang yang dengan mudah menjumpai para pecintanya. Yang lidahnya begitu licin mengucapkan rayu-rayuan gombal pada lawan jenis yang mereka bahkan hampir tidak kenal. Yang telinga dan matanya senantiasa diberkahi kesempatan untuk hidup berdampingan dengan pernyataan kasih sayang. Aku iri Jup.
Tapi aku tidak secengeng itu, mungkin karena akal pikirku yang selalu mengambil sikap skeptis terhadap bualan-bualan orang yang biasanya main-main begitu.
[18/08, 1:18 pm] anano: Tapi, mau tak mau Jup. Rasa dengki ini membuatku bertanya-tanya. Tentang jodoh, Jup. Diriku di masa lalu pasti akan tertawa mengejek jika tahu bahwa aku gulana akan hal-hal semacam ini. Apa memang ada kemungkinan seseorang bersedia menyamakan frekuensinya denganku, Jup? Mungkin aku terlalu idealis. Namun se-skeptis apapun aku tentang cinta, setitik nuraniku masih menuntut agar aku (meski untuk beberapa detik) percaya kepadanya. Semoga Jup. Semoga.
[18/08, 1:27 pm] anano: Dan Jup, emosiku benar-benar tidak stabil. Aku bisa tertawa di pukul 1 siang namun sesunggukan tanpa sebab di pukul 1 malam. Dan itu tidak hanya barang sekali dua kali, Jup. Hampir-hampir setiap hari. Aku tidak bisa tidur jika di sekelilingku sunyi senyap. Aku benci hening. Bukan karena takut ada hantu atau apa, ketiadaan suara itu membuatku menyadari betapa tidak signifikan keberadaanku di dunia, dan aku benci itu. Aku muak memikirkan hal-hal eksistensial bodoh ini. Eh tapi ini bukan tanda-tanda depresi kan Jup?
[18/08, 1:31 pm] anano: Dan akhirnya, tentang 'pulang'. Aku sangat rindu rumah, Jup. Aku menginginkan lagi hangat rengkuh-Nya. Aku mendambakan lagi saat kubisikkan kepada-Nya rahasia-rahasia yang tiada orang lain ketahui. Aku memimpikan lagi perasaan aman, selalu dijaga, tidak kesepian, kemanapun aku pergi. Aku ingin menyadari kembali bahwa aku cuma penumpang yang berada di dalam bis bernama 'kehidupan'. Dan barulah pada akhirnya aku akan sampai pada perhentian terakhir.
Tapi aku sudah terlalu kotor Jup. Aku takut lumpur dan jelaga yang melumuri tubuhku ini mengotori jalan yang harus kutempuh. Lagipula sudah begitu lama pergi, apa aku masih ingat jalan pulang Jup?
***
Well, it's up to you to speculate and conclude anything from these because i have no right to forbid you:)
PS: 'Jup' is for Jupri. He's my friend. We've been friend since like idk maybe 7-8 years ago? Jupri if you somehow read this, idk how should i express my undescribeable (is that even an English word?) gratitude except saying thank you, Jup. Thanks for being such a great friend of mine.
0 Comments