Barangkali pahlawan adalah bagaimana seorang tua yang menghentikan motor dan mobil di belakang palang lintasan kereta api meski upah yang didapatnya tak mampu menghentikan dahaga.
Barangkali sayang adalah jambu-jambu air berwarna merah yang berceceran di tanah bawah pohon, membusuk, tanpa seorangpun mengambilnya, sementara Ibu terengah-engah menawar harga sekilonya di pasar tumpah tepi jalan.
Barangkali manis adalah harum tebu yang menggelitik hidung sepanjang jalan saat kita kebut-kebutan dan tak mau hilang sebelum melewati jejeran penjual es tebu bakar yang tak ada habisnya.
Barangkali nikmat adalah berada di atas bianglala, memandangi titik-titik cahaya lampu dari atas dan merasa bahwa kitalah yang paling tinggi, atau mungkin memandangi gelak tawa keluarga kecilmu yang sempurna.
Barangkali Nusantara adalah deret wayang kulit, wayang golek, lukisan, topeng, serta kidung yang mendayu-dayu berlalu lalang tanpa ijin di telinga, di sekeliling bangunan kokoh yang mirip L'arc de Triomphe Prancis, Kota Tua Britania Raya, atau Parthenon Yunani.
Barangkali candu adalah sorot lampu kendaraan dan angin malam yang bercampur debu jalanan, lancang meniup-niup kulit wajahmu saat hendak bertemu teman lama di tengah jadwal yang seakan tiada akhir.
Barangkali istiadat adalah arca-arca agung yang dibangun entah kapan atau bagaimana, bertulis aksara Carakan dengan tinta emas yang kau lupakan maknanya.
Barangkali ombak adalah gelombang bau sedap dari ikan-ikan asap yang dijajakan di pinggir pantai, tak peduli seberapa asin bau keringat anak-anak yang cengar-cengir berlarian melintasi pesisir.
Barangkali puisi adalah bait-bait serenade yang mengantarmu tidur tanpa pernah kau ketahui maknanya,
Atau barisan kata yang kadang kurang indah, tapi mampu berbisik pada jiwa yang gundah.
Atau, barangkali keduanya?
Iya, barangkali.
Kediri-Trenggalek, 14 Juli 2018
0 Comments