Coretan Buat Ibu

Bu, hari ini aku bertemu dengan banyak orang baru. Mereka dari ribuan latar belakang yang berbeda. Ada yg berasal dr Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, bahkan Papua. Kami diingatkan bahwa kami ini ksatria. Masa depan bangsa ini ada di tangan kami.
Kamilah para penggerak, kami agen perubahan, agent of change. Aku merinding saat mendengar puisi yang dibacakan oleh para perwakilan mahasiswa dari masing-masing pulau. Aku merasa sudah menjadi seorang pengecut karena hanya memikirkan masalah yang menimpaku. Memang, banyak dari mereka berbahasa gua-elu, berbeda dengan aku-kamu sepertiku, namun mengingat usiaku yang sudah dewasa, seharusnya sudah selayaknya aku paham bahwa kami disini sebagai satu kesatuan. Kami ini Indonesia. Kami bersama-sama berada disini untuk membela hak-hak rakyat. Kami disini sebagai penyalur aspirasi, sebagai muda-mudi yang ingin meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat di negerinya yang konon adalah zamrud Khatulistiwa.
Lalu, mereka menanyangkan sebuah video tentang perjalanan mahasiswa baru (seperti kami), yang diantar orangtuanya. Seantero ruangan mulai sesak akan sedu sedan mahasiswi yang rindu rumah. Begitupun aku. Betapa bodohnya aku yang pernah dengan yakin berpikir bahwa aku akan sepenuhnya baik-baik saja disini, bahwa aku kuat. Karena buktinya, aku masih harus berjuang dengan sangat sangat keras hanya untuk menahan airmataku agar tak jatuh membasahi pipi.  Namun yang harus ibu tau adalah, aku berhasil. Aku tak menangis saat mahasiswi lainnya sibuk mengalihkan pandangan dan mengusap-usap matanya yang sembab. Aku menarik napas panjang dan cepat. Aku tak akan cengeng seperti saat aku semasa SMA. Aku bisa melaluinya. Aku baru akan menangis nanti, saat Ibu dengan bangga berada di hadapanku, mencium kening wajah kusamku, yang kelak akan sukses.
Bukan lagi untukmu, Ibu. Aku ingin melakukan sesuatu untuk Indonesia. Aku memang ingin membahagiakanmu, namun aku yakin Ibu akan jauh lebih bangga saat keberadaanku sebagai anak negeri mampu menolong rakyat. Meskipun kecil, aku ingin memberikan kontribusi. Aku ingin membalas budi dan hutangku pada negeri ini. Aku tau jalan yang kulalui akan sangat terjal, berbatu, dan kasar. Bukan lagi siswa yang mengejar nilai tinggi pada selembar kertas putih, aku kini mahasiswa yang ingin bertindak nyata. Maka doakan aku Ibu. Perkokoh cengkeraman tangan doamu di bahuku. Ingatkan aku untuk tetap bangkit, karena hingga kapanpun aku tau bahwa jauh di dalam, jauh di palung jiwaku, mungkin aku masih seorang bayi perempuanmu yang enggan tumbuh dewasa dan berpisah dari ibunya. 

0 Comments