(Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst diselenggarakan oleh Yayasan Astra Honda-Motor dan NulisBuku.com )
Sore ini tak terlalu
cerah. Awan mendung tampak di beberapa bagian langit. Setapak di Dusun
Kartasura cukup lengang, namun tak begitu halnya dengan pekarangan rumah Rinai.
Petak tanah itu disesaki oleh deretan sepeda bahkan tiga atau empat buah sepeda
motor. Para tetangga yang baru pulang dari kebunnya dengan sengaja menjulurkan
lehernya barang sekali dua kali untuk mengintip ke arah pintu rumah Rinai yang
terbuka. Beban berupa singkong, ubi jalar maupun kacang tanah yang menggantung
di tangan ternyata tak bisa menutupi keingintahuan mereka. Sebagai pemukiman
yang agak terpencil, Dusun Kartasura tentu tak begitu terbiasa dengan keramaian
seperti itu. Jargon pemerintah mengenai
pemerataan pembangunan tampaknya tak berlaku disini. Buktinya, jalanan yang
melintasi dusun ini belum ada satupun yang diaspal. Oleh karena itu, sepeda
motor masih tergolong sebagai barang mewah.
“Baiklah, sekarang Rinai akan
memberikan potongan pertama kue ini untuk... Tentunya Ummi Wardah yang amat Rinai
sayang. Lebih dari apapun di dunia!” Rinai mengambil potongan kecil blackforest
dari meja besar di tengah ruangan. Ia menghampiri Umminya dan menyodorkan kue
itu dengan sumringah.
“Terimakasih, Nai.” Ummi Wardah
menerima pemberian puterinya dengan mata berkaca-kaca. Dua tetes air mata
bahkan bergulir diam-diam membasahi jilbabnya.
Rinai merangkulkan
lengannya pada leher sang Ummi. Seluruh teman sekolah Rinai yang diundang riuh
bertepuk tangan. Perayaan ulang tahun Rinai ternyata sama seperti gambaran
perayaan ulang tahun di tiap telenovela amatir yang mereka tonton.
“Nah, sekarang giliran Ummi yang
memberikan sesuatu untukmu.” Ummi Wardah tersenyum.
“Masih ada hadiah lagi, Mi?
Perayaan ini saja sudah menjadi hadiah istimewa untuk Rinai.” Rinai memandang
Umminya. Kedua bola matanya membulat, antara antusias dan tak percaya.
Ummi Wardah menggeleng. “Bukan
perayaan, Nak. Ini hanya syukuran. Tapi memang masih ada yang hendak Ummi
berikan. Ayo ikut ke halaman belakang.”
Rinai menurut. Ia dan
Umminya berjalan paling depan diikuti oleh teman-teman Rinai. Mereka sibuk
menebak-nebak hadiah apakah yang mungkin diberikan Ummi Wardah pada anaknya
yang kini genap berusia 15 tahun itu.
Halaman belakang
rumah itu tak begitu luas. Di sudut-sudutnya juga mulai ditumbuhi rumput liar.
Namun Rinai dan teman-temannya sama sekali tak peduli pada kondisi tanah yang
mereka pijak saat itu. Tatapan mereka hanya terfokus pada benda yang berada
tepat di tengah pekarangan.
Tepat sekali. Sebuah sepeda
motor.
Rinai menutup mulutnya yang
nyaris memekik kegirangan.
“I..in..ini.. sia..siapp-pa?”
Suara gagap Rinai tak begitu ketara di tengah kerumunan teman-temannya yang
berdecak kagum.
“Siapa? Ummi yang membelinya,
dong. Untuk siapa? Untuk puteri Ummi yang sudah lulus SMP dengan hasil UN
terbaik se-kabupaten tentunya.”
Ummi Wardah
membetulkan posisi kacamata yang membingkai manik cokelat tua puterinya. Ia
lantas mengelus bagian punggung Rinai yang tertutup jilbab krem tebal.
“Itu..itu artinya alasan Ummi
meminta Rinai belajar mengendarai sepeda motor sejak dua bulan lalu, karena
ini?” Tanya Rinai. Ummi Wardah mengangguk dan tertawa kecil.
Pandangan Rinai beralih menuju
kedua teman baiknya.
“Kalian juga tahu?” Tanya Rinai
pada Zara yang berjilbab hijau pastel dan Arui dengan rambut hitam sebahunya.
Mereka berdua mau tak mau
mengangguk dan tersenyum lebar. Rinai menggeleng-gelengkan kepalanya tak
percaya.
“Nilai A+ untuk akting kalian.”
Ujar Rinai dengan cemberut yang dibuat-buat.
“Setidaknya, Rinai tak perlu lagi
menumpang pada Arui atau Zara jika hendak meminjam buku Bahasa Inggris ke
Perpustakaan Daerah kan?” Sahut Ummi Wardah.
“Eh...Iya Ummi.” Rona merah
muncul pada kedua pipi Rinai yang malu.
Derai tawa mereka
berempat tenggelam dalam gumaman bersemangat kerumunan teman Rinai yang sibuk
mengamati dan mengomentari sepeda motor matic biru yang bergaya menyerupai
vespa itu. Model yang masih cukup baru dan
jarang dimiliki di Kartasura, model Scuba.
“Terimakasih, Ummi! Rinai sayang
Ummi!”
***
Pintu gerbang dengan
cat berwarna hitam mengkilap itu sedari tadi dilalui oleh siswa-siswi
berseragam putih abu-abu. Di sisi kanannya berdiri dengan tegak sebuah plang
putih yang cukup lebar. Dari kejauhan, Rinai yang sedang menuntun motor Scuba
nya sudah bisa membaca tulisan pada plang itu. Tentu hanya dengan bantuan
kacamata -2 Dioptri nya. “SMAN 2 Aryakusuma,” ucapnya dalam hati. Masih tetap
ada sebersit rasa bangga dalam hatinya saat membaca nama itu, meskipun telah
tiga bulan ia menjadi bagian dari sekolah elite ini.
“Rinai!”
Sebuah suara parau
yang memanggilnya membuat Rinai kembali ke alam sadar. Ia melongokkan kepala
mencari tahu siapakah gerangan si empunya suara.
Pria dengan kacamata
berbingkai metalik dan seragam bermotif batik PGRI menghampiri Rinai. Garis
rahangnya keras dan perawakannya tegap. Di bawah kedua mata sipit itu terdapat
garis-garis halus kehitaman yang menjadi bukti kecintaannya terhadap buku dan
literatur Bahasa Inggris.
Rinai tersenyum dan lantas
menyalami gurunya itu, “Pak Sato.”
“Bagaimana, sudah mendapatkan
referensi tentang karya-karya dan biografi Shakespeare?” Air muka guru Bahasa
Inggris itu segera saja menjadi serius.
“Uhm, saya berniat melakukan
studi pustaka di Perpustakaan Daerah sore ini, Pak.” Jawab Rinai yang berusaha
menyejajari langkah Pak Sato dengan tetap menuntun sepeda Scuba nya menuju
tempat parkir.
“Batas pengumpulan lomba karangan
nasional ini dua minggu lagi, ya. Jangan lupa. Jika kamu membutuhkan bantuan
bapak, kamu bisa langsung mendatangi ruang guru. Clear enough, Nai?”
“Absolutely, Sir. Thank you so much.”
“And why don’t you wear helmet?” Pak Sato ternyata menyadari
absennya helm dari tangan dan motor Scuba Rinai.
Rinai bisa merasakan
pipinya memanas karena malu. Ia sengaja tak mengenakannya karena ini hari
Jum’at dan bukan Senin atau Kamis. Artinya, tak ada polisi lalu lintas yang
mungkin akan ditemuinya. Lagipula, helm hanya membuat pelipisnya sakit ditekan
oleh bingkai kacamata. Tapi tentu hal itu tak akan ia utarakan pada seorang di
hadapannya ini.
“Uh, well.. I accidentaly... Uhm...” Berbohong ternyata membuat Rinai
seketika lupa terhadap perbendaharaan kata yang dikuasainya.
“Helm saya tertinggal di rumah Arui
saat kemarin berdiskusi, Pak.” Sambung Rinai dengan senyum tipis.
Pak Sato mengangguk pendek,
“Hati-hati. Bahkan saya sarankan berkunjung ke Perpustakannya besok saja.”
“Jangan, Pak. Besok saya harus
mulai menganalisis karya Shakespeare yang saya pilih.” Rinai menggeleng pelan.
“Okay, then. Just be careful. Take care of yourself.”
“I will, Sir. See you soon.”
Pak Sato tersenyum dan berjalan
lurus menuju ruang guru membawa sebuah tas laptop hitam sementara Rinai
berbelok ke arah Barat ke kelas X IPA 3 setelah memarkirkan sepedanya.
Koridor sudah cukup ramai.
Beberapa teman sekelas Rinai duduk di depan kelas dan berdiskusi tentang
presentasi yang akan mereka lakukan hari itu. Empat atau lima orang berkumpul
melingkar merundingkan PR yang belum dipahami. Sisanya sibuk dengan kegiatan
kecil di tempat duduk masing-masing. Arui mengikir kukunya yang halus sementara
Zara terlibat diskusi dengan kelompok di depan kelas.
Arui yang duduk tepat
di belakang Rinai menyadari kedatangannya. Ia berhenti mengikir dan mendongak
pada Rinai, "Sore ini tak ada halangan lagi, kan?"
Rinai meletakkan tas di loker
mejanya seraya mengangguk mantap.
"Helm mu dimana, Rui?"
"Hari ini hari Jum'at, Me.
Tak mungkin ada operasi." Jawab Rinai dengan nada meyakinkan.
"Kukira kau sudah mengerti,
Rui. Ternyata belum. Ini bukan mengenai tertangkap polisi atau ditilang
atau..."
"Persiapan. Bu Ayas
datang!" Seru Matthew, sang ketua kelas.
Rinai menempelkan telunjuk di
atas bibirnya, mangisyaratkan pada Arui dan Zara yang baru tiba untuk diam.
Seorang wanita berusia empat
puluhan memasuki ruang kelas yang senyap itu dengan tergesa. Bibir yang dibalut
gincu merah tua tipis pada wajah bulat itu berujar, "Kelompok satu
silahkan maju. Durasi kalian 25 menit."
***
Jam besar di aula
SMAN 2 Aryakusuma berdentang tiga kali. Dentangan itu segera saja disahuti oleh
lantunan Fur Elise gubahan Beethoven sebagai penanda berakhirnya jam pelajaran
hari ini. Awan stratus yang tak kunjung bosan memayungi angkasa masih
bertengger di tempatnya. Meski begitu, para siswa tak tergesa-gesa untuk
pulang. Tiga bulan terakhir langit memang selalu mendung, namun belum pernah
turun hujan.
Zara menatap jam tangan putihnya.
"Sudah pukul 2, lebih baik
kita bergegas." Ujarnya pada Rinai
dan Arui. Sambil berjalan, Arui mengambil jaket parasut cokelat dari dalam tas
dan mulai mengenakannya. Mereka bertiga kemudian mempercepat langkah dan
berjalan bersisian berusaha menyelusup di antara kerumunan siswa lainnya.
Rinai, Arui dan Zara menuntun
sepeda motor masing-masing keluar gerbang sekolah. Sekitar dua atau tiga meter
diluar gerbang, mereka menaiki motor dan mulai menstaternya. Tak lupa Arui
mengenakan helm berwarna pink dengan motif cupcake. “Ayo, kalian di
belakangku.” Pinta Arui. Rinai dan Zara menurut, karena mereka tidak mengenakan
helm. Zara memiliki pandangan yang sama dengan Rinai. Ia enggan mengenakan helm
karena membuat jilbabnya tidak rapi dan kusut.
Sepeda motor mereka
dipacu dengan kecepatan dibawah 60 km/jam. Dengan membentuk satu baris yang
lurus dan mengambil jalur pinggir, Arui cukup yakin jika mereka akan baik-baik
saja. Ya, ia yakin. Mereka sudah sering melakukan perjalanan tanpa helm.
Lima belas menit
pertama, segalanya berjalan lancar. Rinai, Arui dan Zara bahkan berjumpa dengan
pengendara lain yang sama-sama tak mengenakan helm, bahkan ada yang nekat
memacu kendaraannya dengan kecepatan di atas rata-rata. And, nothing happen. Batin Rinai. Everything will be absolutely fine.
Angin bertiup
perlahan membuat helaian rambut hitam Arui berayun-ayun di balik kaca helm. Arui
merasakan lengannya yang ditutupi seragam sekolah pendek ditimpa sesuatu yang
basah.
“Kotoran burung? Ah sial.”
Umpatnya dalam hati.
Ternyata sesuatu yang basah itu
turun dengan frekuensi yang sama.
“Hujan?” Batin Rinai bertanya-tanya.
“Hanya dua puluh menit lagi untuk
tiba di Perpustakaan Daerah. Kumohon hujan, jangan turun hari ini.” Pinta Zara
harap-harap cemas setelah merasakan beberapa tetes air hujan di balik
jilbabnya.
Namun kenyataan tak
berjalan sesuai dengan apa yang Zara harapkan. Rintik-rintik air jatuh dari
angkasa seperti sebuah ember besar yang ditumpahkan. Dengan indahnya menyapu
tanah tandus di kanan kiri jalan protokol itu. Makin lama, makin pasti, debit
hujan yang turun makin besar. Rinai bisa merasakan kacamatanya makin basah.
Pandangannya ditutupi oleh uap air akibat suhu yang dingin.
“Arui! Lebih baik kita meneduh
dahulu!” Pekik Zara yang berada tepat di belakang Arui.
Arui menoleh sedikit
dan segera membelokkan stir sepeda motornya ke arah trotoar. Segera saja Zara
dan Rinai mengikuti. Mereka memarkirkan sepeda motor masing-masing dan berteduh
di bawah pohon perdu yang berjajar. Tubuh mereka yang masih dibalut seragam putih
abu-abu itu menggigil kedinginan. Rinai melepas kacamatanya yang berair dan berusaha
menyekanya dengan sesuatu yang kering, namun seluruh tubuhnya sama sekali basah
kuyup.
Zara mengambil
sebungkus sekotak tisu dari tasnya yang tahan air kepada Rinai.
“Terimakasih.” Ucap Rinai saat
menerima plastik pemberian Zara.
Zara mengangguk singkat. Bibirnya
memutih dan enggan berucap apapun.
Rinai mengambil
sehelai tisu dengan perlahan dan mengusapkan lembaran tipis kering itu pada
kacamatanya. Masih agak buram memang, namun wilayah pandangnya jauh lebih baik
daripada tadi dan Rinai sudah bisa mengenali keadaan di sekelilingnya. Zara
tengah menggosok-gosokkan telapak tangannya dengan cepat berharap hal itu
menimbulkan sedikit rasa hangat. Arui sedang melepaskan helm pink dan jaket
parasutnya. Rambut Arui masih kering, hanya bagian bawah yang terkena tetesan
hujan. Begitupun pakaiannya, memang terdapat beberapa berkas hujan, namun tak
terlalu kuyup seperti milik Rinai dan Zara.
“Pukul berapa saat ini, Ra?”
Tanya Arui. Bibirnya bahkan tak terlalu pucat.
Zara menatap jam tangannya yang
juga basah. Ia bersyukur jam itu bersifat water
resistant.
Ia mendongakkan kepalanya kembali
pada Arui dan mengangkat tiga jari kanannya.
“Tiga?” Tanya Arui. Zara
mengangguk.
“Bagaimana ini, hujan tampak
belum hendak reda. Aku harus pulang sebelum pukul lima atau Ayah akan
mengurungku di kamar selamanya.” Sambung Arui. Jemarinya menadah air hujan di
sisi paling pinggir trotoar.
“Apa lebih baik ku telpon Paman
Lukman? Ia polisi. Jika aku tak salah, kantornya tujuh atau delapan ratus meter
dari monumen Sunda Kelapa ini.” Jemari Arui yang basah menunjuk sebuah monumen
berbentuk menyerupai pohon kelapa
beberapa kaki di depan mereka.
Rinai menggeleng.
“Aku takut.” Ucapnya dengan
bergetar. Terdengar kekanakan memang, namun ia menyatakan apa adanya. Zara
lagi-lagi mengangguk untuk menyatakan kesetujuannya terhadap Rinai.
“Lalu bagaimana?” Tanya Arui
putus asa. Zara dan Rinai memang berasal dari daerah kecamatan, jadi ia
berkewajiban untuk memaklumi cara pikir mereka yang biasanya berbeda dengannya
yang hidup di tengah-tengah kota.
“Tunggulah disini sebentar lagi.
Hujannya pasti akan reda.” Rinai berusaha menenangkan kawannya itu walau ia
sendiri tak yakin terhadap jawaban yang dilontarkannya.
“Apa itu Matthew?” Zara akhirnya
membuka suara. Lengannya terangkat dan menunjuk seseorang berkaus hitam
bertuliskan ‘My Chemical Romance’
yang hendak menyeberangi zebra cross. Di tangannya tergantung sebuah kotak
berisi makanan cepat saji sementara tangan lainnya memegang payung lebar. Lampu lalu lintas menunjukkan warna hijau
untuk pejalan kaki.
“Astaga, bagaimana mungkin aku
bisa lupa? Rumah Matthew ada di sekitar sini! Matthew!” Pekik Arui yang nyaris
melonjak kegirangan. Suaranya menjadi samar ditelan desisan hujan. Matthew yang
sedang berjalan menoleh dan menyipitkan matanya. Ia merasa seseorang
memanggilnya. Ia memandang sekeliling dan berusaha mencari sumber suara itu.
Akhirnya Matthew mengenali ketiga teman kelasnya. Ia tersenyum dan mempercepat
langkahnya.
Di sisi lain, seorang
pengendara motor tanpa helm dan berkacamata muncul dari arah utara. Ia tak
mengira ada seseorang yang hendak menyeberang, padahal niat hatinya untuk
menerobos lampu merah. “Dalam kondisi hujan seperti ini tentulah tak ada orang
yang sudi berjalan kaki.” Pikirnya tadi. Kacamata yang juga basah akibat air
hujan jelas mengaburkan pandangannya. Pengendara itu mengerem sekuat tenaga
namun kondisi jalanan yang licin tak mendukungnya. Matthew nyaris tak bisa
bergerak. Ia mematung di tempat mendengar suara klakson yang memekakkan
telinga.
Arui menjerit sekuat
tenaga, dan Zara menutup matanya. Rinai hanya mematung. Tungkainya lemas seolah
engsel pada seluruh persendiannya copot. Tatapan Rinai kosong.
“Ternyata seperti itulah bagaimana Ayah meninggal...”
“...pengendara
itu berkacamata, ia tak mengenakan helm sama sepertiku...”
“...ia
tak sengaja melakukannya, pandangannya lah yang kabur...”
“...bagaimana
jika pengendara itu adalah aku? Aku sama egoisnya dengan dia...”
“...hal
itu bisa terjadi pada siapa saja, termasuk padaku...”
“...kami
tak peduli pada orang lain dan hanya mementingkan diri sendiri...”
“...menyusahkan
orang lain...”
“...apa
yang terjadi pada Matthew?...”
Zara dan Arui menoleh saat
mendengar suara ‘buk’ yang cukup keras. Rinai pingsan.
“Rinai fobia darah! Aku lupa!”
Pekik Zara.
Arui yang makin panik melepas tas
dan mengaduk isinya untuk mencari ponselnya. Ia segera mencari kontak Paman
Lukman.
“Halo, Paman? Aku dan dua temanku
ada di monumen Sunda Kelapa, ada kecelakaan parah di sini dan aku terjebak
Paman. Bisakah antarkan aku Paman? Tolong..” Suara Arui benar-benar pasrah.
“Apa? Tunggu disana. Paman akan
menyusul secepatnya.” Jawab sebuah suara di ujung sana.
“Ya, terimakasih Paman.” Arui
mematikan ponselnya. “Apa yang akan terjadi pada Matthew?” Tanya Zara di
sela-sela usahanya menyadarkan Rinai. Arui mengangkat bahu dan enggan
membayangkan jawaban terburuk yang mungkin terjadi.
***
Dengung
sirine Ambulance yang terus-menerus bergaung di telinga membuat Rinai
perlahan-lahan membuka matanya.
“Akhirnya!” Zara memekik lega.
Rinai menyipitkan mata dan berusaha memfokuskan pandangan dan pikirannya.
“Dimana kacamataku?” Tanya Rinai.
Zara meraih kacamata yang ia simpan dalam tas anti airnya. Ia memasangkan
kacamata itu pada Rinai dengan perlahan.
“Apa yang terjadi pada Matthew?”
Kelebatan peristiwa mulai bermunculan di benak Rinai.
“Tangan kanannya patah, beberapa
bagian tubuhnya sobek dan ia masih belum sadarkan diri.” Sahut Arui tanpa
ekspresi.
“Si pengendara lebih parah,
benturan di kepalanya mempuat tempurungnya retak sehingga terjadi pendarahan
otak.” Raut wajah Arui lebih pucat dari biasanya, begitupun Zara. Tentu saja,
menyaksikan kecelakaan seperti itu secara langsung bisa mengakibatkan trauma
pada gadis 15 tahun.
Paman Lukman datang dengan
seragam kepolisiannya.
“Karena kalian masih dibawah umur
namun tidak beratribut lengkap untuk berkendara, Paman akan memberi teguran
untuk kali ini saja. Beratribut lengkap saat berkendara bukan tentang polisi,
Operasi Lalu Lintas atau sejenisnya. Ini tentang keselamatan kalian, dan bahkan
orang lain. Kami melakukan Operasi berharap agar masyarakat sadar akan
kewajiban mereka menjaga keamanan bersama.” Seulas senyum muncul pada wajah
Paman Lukman yang tampak lelah.
“Karena keamanan bukan hanya
tanggung jawab Kepolisian maupun TNI, melainkan seluruh Warga Negara Indonesia.
Setujukah kalian?” Baik Rinai, Arui, maupun Zara mengangguk.
“Maka berjanjilah untuk tidak
melakukan hal yang sama lagi, demi keselamatan kalian sebagai generasi muda.”
Tiga sekawan ini mengangguk untuk kedua kalinya. Dari kaca Ambulance, samar-samar
bayangan rumah Rinai muncul dari kejauhan. Kecelakaan tadi membuat Rinai
kembali mengingat kematian Ayahnya. Ia merasa, satu-satunya hal ingin ia
lakukan saat ini adalah berlari keluar dari Ambulance dan memeluk Umminya.
*FIN*
1 Comments
Bagus cerpenya Div
ReplyDelete