Tentang Ponselku

Genre : Fantasy maybe?
Rated : T atau G ? Gatau lah -_-
Kind : One Shot
Teaser :
Jika handphone mu bisa berbicara , apa yang akan dikatakannya ?

NB : *LUMOS* Yeayyyy jadi juga nih cerpen tiga jam (cuman ada 1600 kata loh)haha :D maap nih kalo Miss Typo bertebaran dimana-mana, makasih yang udahmeluangkan waktu buat baca J ini adalahcerpen pertama yang berani saya post ke sosmed :D Inspirasinya sih dapet waktu lagi boring dengerin guru lagi ngasih materi pas MOS wkwk:D Oh iya maap pas bagian puisi kalo my grammar sucks :( maklum masih belajar hehe :D ini cerpen based on real story loh haha (^_^)v maap juga kalo aneh gitu masa iya bikin cerita dari sudut pandang sebuah hape wkwk :) semua komen, kritik, saran, usul, saya terima dengan lapang dada hehe :) Jadi please read and review yaa :) *mukamelas*Thanks *winks*
Cekidot..

***
                Aku adalah sebuah handphone bersarung merah yang kini memiliki seorang pemilik baru. Mungkin terdengar aneh saat kalian mendengarkan penuturanku, tapi yah..silahkan menyimak. Aku menuturkan segalanya dengan sejujur mungkin.

                Akua dalah teman yang cukup setia bagi pemilikku. Walaupun memang pemilikku yang baru—Namanya Ve—belum lama memilikiku, tapi kurasa aku penting baginya.Ve adalah seorang gadis yang kurasa cukup ramah dan mampu beradaptasi, ia memiliki banyak mimpi, dan juga tekad untuk mencapai semua mimpi itu. Dia tegardan selalu berusaha sebaik mungkin untuk bisa membantu siapa saja yang datang padanya untuk meminta bantuan—Pernyataan ini kudapatkan dari handphone lamanya yang berkulit biru—dan selalu tersenyum pada semua orang.

                Tapi entahlah, akhir-akhir ini, tampaknya ada hal yang mengganggu pikirannya. Aku tak tau apa, dan kalian pasti tau aku tak mungkin menanyakan hal itu padanya.Saat mentari mulai terbenam, dia selalu terisak. Apalagi saat ia mengenakan dua helai kain putih yang sangat besar dan menutupi seluruh tubuhnya, ia dudukdilantai yang beralaskan kain tebal dengan gambar masjid, dan sebelah tangannya mengenggam buku kecil namun cukup tebal—Aku tak tau apa yang dibacanya, karena nampaknya bukanlah bahasa Indonesia—sudah dapat kupastikan, dalam hitungan menit, suaranya pasti mengecil dan menghilang, lalu terganti dengan tarikan nafas dalam-dalam. Aku tau, dia sedang mati-matian berusaha menahan tangis agar tak terdengar oleh siapapun.

                Mengapa  Ve harus melakukan itu semua? Maksudku, jika ia ingin menangis, yasudah keluarkan saja seluruhnya. Bukankah lebih lega begitu? Oh Astaga. Maaf. Aku lupa ucapan si kulit biru kemarin. Ve memang pandai—maaf, maksudku: sangat pandai—menyembunyikan perasaannya, apalagi saat ia tau jika perasaannya itu memberatkan orang lain, apapun akan ia lakukan demi menyembunyikan perasaannya.

                Aku sering mendengarnya berucap, “Mengapa hidupku tak semudah hidup orang lain Tuhan?” Tapi beberapa detik kemudian Ve langsung merutuki kebodohan dirinya. Ia bergumam, “Jangan pernah berani menyalahkan takdir. Kau tau bahwa Tuhan selalu memberikan yang terbaik untukmu.” Sangat sering ia berkata begitu. Sama seringnya dengan saat Ve mengecekku, paling sering untuk mengecek pesan masuk, lalu berinternet, lalu mengecek gallery, atau entahlah. Tapi setidaknya aku cukup mampu menghiburnya. Memang terkadang kulihat beberapa tetes kristal menggenangi bola matanya tepat saat ia telah mengecekku. Apa salahku? Apa aku membuatnya sakit? Atau lagu itu yang membuatnya sakit? Ah tidak mungkin. Seseorang yang tegar seperti Ve tak mungkin menangis hanya gara-gara lagu murahan.

                Memang bodoh. Tapi tunggu dulu.. tampaknya masalah yang dia hadapi kali ini benar-benar memengaruhi moodnya. Kadang ia tersenyum lebar setelah mengutak-atikku,namun tak jarang pula aku dibantingnya—untungnya sarungku melindungiku—mungkinkarena saking kesalnya ia padaku. Suatu kali, aku, Ve, dan Kakaknya pernah pergi bersama. Si kulit biru juga turut menemaniku. Segalanya baik-baik saja,Ve tetap menundukkan kepala memandangku saat Kakaknya mengobrol dengannya. Aku menyadari matanya merah. Astaga.. apalagi kali ini Ve? Sialnya, Kakak Ve jugamulai menyadari hal itu.“Kamu nangis Ve? Gara-gara gak ada temen doang nangis?Jangan cengeng. Jangan terbiasa ngandelin orang lain.” Ucap Kakaknya dengan nada menggurui.

                Entahlah hanya pikiranku atau memang Ve benar-benar berbisik, aku mendengar Ve berucapdengan sangat  jelas,”Bukan Cumagara-gara itu. This is complicated. Fuck all of this shit.” Padahal kulihat jelas-jelas rahang Ve terkatup rapat. (Apakah ini yang disebut “Telepati antaraPemilik dan Peliharaan”?—ya ampun maaf—Aku lupa aku adalah sebuah handphone dan bukan peliharaan). Beberapa saat kemudian, setelah menarik napas sedalam-dalamnya, Ve berkata,”Engga bukan kak,gak apa-apa kok hehe” dan sulit kupercaya, VE TERTAWA!! Kuakui kebenaranpengakuan si kulit biru, Ve memang sangat pandai menyembunyikan perasaannya. Disatu sisi, aku amat kagum akan kepandaiannya itu, tapi di sisi lain, aku iba dan sangat ingin menghiburnya. Yah, apa daya, aku hanya sebuah handphone..

                Mulai saai itu, hubunganku dengannya terasa makin erat. Aku kini dapat mendengarkan keluhan-keluhan yang sebelumnya tak pernah ia beritaukan kepada siapapun.Jeritan yang hanya ia simpan dalam hati. Segalanya amat berat baginya tentu.Terkadang aku merenung. Bagaimana mungkin seseorang seusianya  memikirkan hal sejauh itu? Seberat itu? Apa tak terlalu jauh? Bukankah masa remaja—aku mengetahui hal ini saat Ve menggunakan ku untuk menjelajah wikipedia—adalah masa terindah untuk bersenang-senang di dunianya?

                Sehari sebelum hari kemarin, aku cukup bahagia melihat Ve. Baru kali ini ia bahagia dalam jangka waktu cukup lama. Raut wajahnya mulai berseri saat menggunakanku ke telinganya untuk sekitar satu jam. Apa yang dia lakukan padaku? Beberapa saat kemudian terdengar suara seseorang dari dalam diriku. Ya ampun .. suaraberat siapa itu? Siapa yang bisa membuat Ve tertawa lepas dengan tulus begitu? Tanpa membohongi dirinya sendiri, kali ini aku yakin dia benar-benar bahagia.Dan Ve tetap menunjukkan keceriaannya hari itu, sebelum mentari kembali pada peraduannya. Kadang aku meminta pada matahari untuk tetap bersinar di angkasa,untuk tidak terbenam. Namun tawa yang menyiratkan ejekan yang kuterima. Haha.Tak mungkin handphone bodoh. Mentari dan bulan memang telah memiliki jadwal masing-masing yang tak akan pernah bisa dirubah.

                Dan benar saja dugaanku. Setelah Ve menempelkan dahinya pada lantai beralas itu,butir demi butir kristal mulai meluncur dari kedua bola matanya. Ada apa lagi Ve? Tanyaku yang berharap Ve—entah bagaimana caranya—mendengarnya. Beberapa saat berlalu, dan Ajaib!! Ve berbisik seolah-olah mendengarku. Ya, aku tau,semua bisikan yang terdengar saat rahangnya terkaturp artinya hanya terjadi pada pikirannya. Tapi terserahlah, toh aku tetap dapat mendengarnya. Hari itu, aku mempelajari sebuah kata baru dari Ve. Rindu.

                Apa itu rindu? Mengapa tak ada yang pernah berkata begitu padaku sebelumnya?Sehebat apa kemampuannya hingga membuat Ve terisak begitu? Tunggu dulu. Ve masih melanjutkan perkataannya. Ia rindu kehangatan. Astaga Ve, apa kau tak memiliki kabel untuk charging? Jika kau ingin kehangatan dan tak memiliki kabel charger, gunakanlah milikku. Tenagaku selalu terisi kembali, aku pun selalu merasakan kehangatan saat sedang di-charge. Mengapa kau tak mencobanya? Manusia memang aneh. Mereka menciptakan benda yang bisa memberiku kehangatan, tapi tak bisa menciptakan benda yang bisa membuat mereka sendiri merasa hangat.

                Hari berganti, begitupun mood Ve. Hari ini, aku kebasahan terkena airmata Ve saat ia berbicara dengan seseorang dari dalam diriku. Tidak, nampaknya orang ini berbeda dengan orang yang bicara dengan Ve kemarin. Suaranya terdengar lebih manis dan tidak begitu berat. Aku tak pernah melihat Ve menangis hingga sesak begitu, walaupun selama ini dia selalu menangis, aku tak pernah melihatnya separah itu. Untungnya, seisi rumahnya sedang pergi. Tapi, ya ampun? Siapaorang brengsek yang membuat Ve tersedu-sedu seperti ini? Ve menatapku, dan aku dapat melihat dengan jelas bahwa bagian matanya yang berwarna putih telah berubah menjadi merah. Tapi entahlah apa yang orang ini lakukan, anehnya,setelah Ve meletakkanku kembali ke atas meja, air mukanya jauh lebih tenang.Sangat tenang. Aku bisa melihat sinar kelegaan pada garis wajahnya.

                Aku ingat, ia pernah menulis sesuatu diatas kertas. Oke aku lupa menceritakan pada kalian, Ve malas untuk pergi kemanapun kecuali ada sebuah alasan yang mendesaknya. Karena, yah.. harus kuakui, ia tak memiliki seseorang, yang selalu ada, yang selalu siap menemaninya, yang selalu menyediakan bahu untuk menumpahkan seluruh bebannya. Oh my poor ve :( Jika kau tanya apakah Ve pernah menyesal? Kujawab dengan lantang. Tidak. Ia tau apa yang harus dilakukannya, ia hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri, dan seorang teman. Teman yang memberinya kehangatan.

                Kembali pada tulisan Ve. Ia menulis—menurutku—sebuah puisi, yang kugambarkan sepertiini:

I imagine for yourexistence here. Beside of me.
I really wishingthat you are walking around with your smile, staring at me.
I always worryingeverything about you. Always.
My greatest fear is,when you standing behind someone else with warm greetings and new comfortingfeeling.
I’m so scare for that.
When the dark iscoming,
The last thing Iwanna hear is just your voice, whispers my name.
Thanks for being mymost valuable thing to keep, my only reason to fight for.
Hold my faith, Itrust you.
Don’t ever walkaway, cause I never let you go.
And it’s always beenyou.
                

                Siapa itu you? Itulah yang aku tak tau. Ve tak pernah menyebutkan namanya. Harus kuakui hobi menulisnya memang membuat ia cukup terbiasa membuat karya-karya seperti itu. Hal itu pula yang membuatnya selalu menyayangi segala sesuatu dengan segenap kemampuan yang ia bisa. Termasuk—kurasa—orang yang mampu membuatnya tersenyum itu. Satu hal lagi yang membuatnya tersenyum, foto keluarganya. Ada 4 orang pada foto-foto yang terdapat di gallery ku. Tapi aku tak pernah melihat ketiganya. Kemanakah gerangan mereka? Apa mereka yang membuat Ve berubah seperti ini?

                Saat mentari telah terbenam, Ve memang selalu meninggalkanku di antara bantalnya dan mulai menempelkan dahinya pada lantai yang beralaskan kain tebal dengan gambar masjid itu. Ia memang tak mengeluarkan suara apapun dari mulutnya. Namun aku,mampu mendengar bisikannya.
“Jaga hatinya, jaga kesehatannya, jaga sikapnya, jaga pikirannya, jaga keadaannya selalu, Tuhan.”

                Kini aku mengerti segala hal yang menghampiri Ve terus menerus, hal yang membuatnya berubah, hal yang membuatnya bahagia dan sedih disaat bersamaan, hal yang membuatnya terisak, hal yang menjadi gagasan untuk tulisannya, hal yang menjadi satusatunya penyemangat dalam hidupnya, hal yang membuatnya mengulang doa yang sama. Yakni : Warmth, Fams, Future, and Love.

***

*FIN* *NOX* Thanksfor reading :) Please Review :) 

0 Comments